Sejenak.
INTEGRASI SAWIT SAPI, SOLUSI MULTI MASALAH DI INDONESIA.
Wayan Supadno.
Jika tetangga kita, mengidap stunting (kekerdilan akibat kurang gizi) pasti kita merasa berdosa, bersalah dan malu. Apalagi kalau itu terjadi pada keluarga kita. Karena keadaan itu adalah tanggung jawab kita sebagai insan dewasa. Begitu juga hendaknya perasaan kita di mata masyarakat dunia terhadap stunting di Indonesia.
Angka stunting di Indonesia tahun 2018 menurut WHO 30,8% dan terus bisa kita turunkan. Artinya sekitar 1 dari 3 balita Indonesia mengidapnya. Padahal pada fase itu momentum sedang proses terbaik membangun anatom, fisiolagi dan psikologi manusia. Yang akan dimanfaatkan agar mampu bersaing dengan baik pada perjalanan sepanjang hidupnya. Semakin sehat maka semakin mampu bersaing, begitu juga sebaliknya. Stunting di Indonesia utamanya karena rendahnya asupan protein hewani, salah satunya dari daging sapi.
Sekalipun Indonesia pada tahun 1984 dikenal dunia sebagai negara eksportir sapi. Tapi data fakta saat ini kita impor sapi dan daging setara 1,3 juta ekor sapi hidup/tahun. Impor susu sapi sekitar 78% dari total kebutuhan nasional. Dalam waktu bersamaan kita ekspor bungkil sawit sebagai bahan baku pakan sapi di luar negeri dengan jumlah jutaan ton/tahun. Karena Indonesia penghasil bungkil sawit sekitar 7 juta ton, rendemen 3% dari tandan buah segar sawit (TBS) dari luas 14,6 juta ha dengan provitas 20 ton TBS/ha/tahun.
Sekalipun luas sawit Indonesia 14,6 juta ha, tapi milik petani hanya 5,7 juta ha saja itupun yang 1,8 juta ha lahannya sengketa dengan kehutanan. Kondisi riil petani provitasmya hanya 16 ton TBS/ha/tahun padahal di perusahaan swasta 24 ton TBS/ha/tahun. Kondisi tersebut makin tertekan lagi labanya karena pabrik kelapa sawit (PKS) adanya jauh dari lahan petani sehingga butuh ongkos kirim minimal Rp 150/kg. Ditambah beban pupuk kimia dan herbisida yang makin mahal. Pasti akan menekan laba, karena 70% dari total biaya produksi (HPP) berasal dari pupuk dan herbisida.
Pada dunia usaha peternakan sapi biaya produksi 70% nya dari pakan. Jika makin bisa menekan harga pakan maka makin bisa kompetitif. Sapi dari Australia dan Prov. NTT bisa jual murah karena HPP nya rendah, karena digembala lepas 1 orang gembala bisa mengelola 200 ekor sapi, efisien sekali. Di Jawa 1 orang maksimal mampu 6 ekor sapi sehingga harga sapipun jadi mahal, baik bakalan maupun siap potong. Sistem gembala lepas paling murah dan itu sangat bisa dilakukan di kebun sawit. Dampaknya pada terjangkau tidaknya masyarakat mengonsumsi daging sapi, yang salah satunya guna menekan angka stunting.
Program Pemerintah hal bioenergi dari sawit B30 dan seterusnya. Ini sangat bagus karena menekan jumlah impor BBM dan memperluas pasar sawit. Tapi karena B30 menyangkut hajat hidup umat banyak maka hargapun tidak mahal, jika mahal maka multiplier effect nya besar luas dan jelek. Sehingga tetap terkendali wajar, prediksi saya maksimal harga TBS di PKS Rp 1.500/kg tak mumgkin akan jauh di atas itu. Sekalipun saat ini harga sawit sudah bagus. Artinya kalau berharap masyarakat sawit makmur sejahtera maka harus meningkatkan laba dengan menekan HPP nya. HPP terbesarnya 70% dari pupuk dan herbisida. Jika itu diminimalkan dengan adanya kohe sapi padat feses 4% x berat badan hidup/hari, cair urine 3,5% x berat badan/hari. Maka petani dapat laba kiri kanan sawit laba naik dan sapi yang HPP nya rendah.
Tiada mungkin proses Ramadhan tanpa disambut indahnya Idul Fitri dan tiada mungkin kesulitan petani sawit tanpa menuai buah solusi nikmat permanennya..
Moga bermanfaat.
Salam Kreatif ??
Wayan Supadno
Pak Tani